Minggu, 25 September 2011

Air mata untuk adikku


Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit.

Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku. Yang mencintaiku lebih daripada aku mencintainya.

Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, Aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku.

Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu di tangannya. "Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, "Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!"

Dia mengangkat tongkat bambu itu tingi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, "Ayah, aku yang melakukannya!" Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan napas.

Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!"

Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami.
Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi."

Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku.

Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.

Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas provinsi.

Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya memberengut, "Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik,hasil yang begitu baik" Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?"

Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku."

Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. "Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!"

Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang.

Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya. Kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini."

Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas.

Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: "Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimu uang."

Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20.

Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga.

Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, "Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana!" Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir.

Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?" Dia menjawab, tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?" Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku.

Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga! Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu..."

Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, "Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu."
Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.

Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. "Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!" Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu."

Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan membalut lukanya. "Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya.

"Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan." Ditengah kalimat itu ia berhenti.

Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku. Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26.

Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa.

Adikku tidak setuju juga, mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu saja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini." Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut. Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi.

Suatu hari, adikku di atas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, "Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?"

Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. "Pikirkan kakak ipar --ia baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?" Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah: "Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!"
"Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29.

Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?" Tanpa berpikir ia menjawab, "Kakakku."

Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat. "Ketika saya pergi sekolah SD, SD itu berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, Saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sumpitnya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya."

Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku.
Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, "Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku." Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.


catatanku:
ingatkah engkau wahai adikku, ketika engkau masih kecil engkau sangat di manja.
semua apa yang kau pinta harus kau dapatkan..
pada suatu ketika, aku mendapatkan mainan baru.
tiba-tiba engkau ingin memilikinya juga.
aku merasa kesal sekali, waktu itu yang ada dalam fikiran kecilku "kenapa sih, semua kepunyaanku di pinta oleh adikku.?"
aku ga mau mengasihkannya padamu.
engkau menangis tersedu2 tapi ga membuat hatiku goyah karna mainan itu baru beberapa menit ditanganku.
ahirnya emak kita datang dan ikut membujukku agar aku memberikan mainan itu padamu.
aku menangis.!!
kenapa sih semua orang membelamu.??????
aku tak kuat menahan diri, ahirnya mainan itu aku hancurkan di hadapanmu n di hadapan emak kita..
apa yang kudapat setelah itu.??
penyesalan yang tiada ahir, sehingga menjadi penyakit bagi diriku.
aku bahkan sering bermimpi tentang mainan yang telah aku hancurkan yang seharusnya aku berikan padamu.
maafkan aku wahai adikku..........
walaupun aku sering membuat kau malu.
walaupun sering aku membuat kau marah.
jauh di lubuk hatiku aku sangat menyayangimu..
walaupun aku terkadang berlagak cuek, tapi rinduku padamu tak pernah luntur sejenakpun.
sampai sekarang wahai adikku..
penyesalan tentang mainan yang ku hancurkan itu masih melekat kuat di ingatanku.
aku sayang kamu.

Sabtu, 17 September 2011

Ibu : Selalu Tercium Aroma Rindu

oleh bidadari_Azzam Krakow, 22 desember 2010


Bahaz Ibnu Hakim, dari ayahnya, dari kakeknya Radliyallaahu ‘anhu berkata: Aku bertanya: Wahai Rasulullah, kepada siapa aku berbuat kebaikan? Beliau bersabda, “Ibumu.” Aku bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau bersabda, “Ibumu.” Aku bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau bersabda, “Ibumu.” Aku bertanya lagi, “Kemudian siapa?” Beliau bersabda: “Ayahmu, lalu yang lebih dekat, kemudian yang lebih dekat.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)

Hadits itu selalu tertanam dalam hati ini, namun sosok ibu yang mendidikku bukanlah ibu yang ‘kege-eran’ dengan kalimat indah itu. Beliau selalu menasehati kami untuk bersikap adil dan jujur dalam kegiatan sehari-hari, termasuk saat memposisikan diri berdiskusi di depan ayah dan ibu, tak melulu harus menaati bulat-bulat perintah ayah dan ibu, apalagi jika kami memiliki alasan dengan sudut pandang berbeda—orang tuaku sangat menghargai masukan dan ide dari anak-anaknya.

Jadi, kalimat bahwa “Saya sekarang adalah ibu, yang harus selalu terus belajar tentang kesabaran dan keikhlasan, terutama belajar dari anak-anak sebagai amanah dari Rabbku”, bukanlah sebait kata yang baru muncul di era modern ini, melainkan sebuah kalimat yang merupakan warisan turun-temurun, sosok ibuku adalah salah satu ibu yang mewariskan kesejatian resapan makna kalimat itu.

Ibuku tersayang, dulu di usia ke enam tahun, saya menangis terus-terusan, di rumah, di taman, di sekolah, hingga para guru dan teman-teman bertanya ada apa gerangan? Jawabku, “ibuku di rumah sakit, hu..hu…hu….” kenapa saya tidak boleh ikutan berada di rumah sakit, begitu pikirku. Namun ternyata tiga hari dari situ, saya dan kakak-kakakku diajak menengok ibu, namun hanya mengintip dari jendela ruangan, ternyata ibu sehat-sehat, perut gendutnya sudah rata, dan keesokan harinya beliau pulang ke rumah bersama hadiah baru buat kami, yaitu adinda yang jelita. Lucu sekali, dulu saya benar-benar tak mengerti akan hal itu, dan memutuskan untuk mejadi pengamat saja. Kuamati betapa telatennya ibu menimang, mengganti popok, menyusui adik. Dan berarti waktu saya masih bayi, sebegitu pula merepotkan ibu.

Peristiwa bergulir setiap hari, dan ibu selalu ada di sisi ini. Al-Ummu Madrasah (ibu adalah sekolah), benar-benar hal itu telah kualami sendiri. (maafkan jika ada teman yang jadi cemburu akan kebahagiaanku ini), bahkan ibuku sendiri tak mengalami kebersamaan yang lama dengan ibu kandungnya. Nenekku meninggal dunia tatkala ibu masih balita. Dan saya tahu beratnya hari-hari ibu sepeninggal almarhumah, ibu melalui masa-masa penjajahan, juga masa saat komunis berjaya, untungnya pemuda-pemuda kampung beliau sangatlah cinta pada Islam, masih menjaga dan memagari diri dari jeratan paham komunis. Namun di dua kampung sebelahnya, setiap malam ada ‘pesta neraka’, begitu cerita ibu, laki-laki dan perempuan membuka busana dan menikmati minuman keras. Sehingga orang kampung tersebut tidak diizinkan memasuki kampung ibu.

rindu ibu, kasih sayang ibuIbu menceritakan segala hal padaku, mendongeng sebelum tidur, menemani belajar malam, dan di tiap sela waktu berbelanja, atau saat bepergian selalu ada saja ilmu baru yang beliau sampaikan. Ibu pernah menjalani hari bersama beberapa ibu tiri, ibu asrama yang super cerewet, juga dengan bibi yang kurang berakhlaq baik. Namun semua orang itu menyatakan salut dan bangga akan kesabaran dan keuletan ibuku saat melalui hari bersama mereka. Bahkan sebelum saya menikah, ayahku sendiri yang mengatakan terus terang, saat itu ayah dan saya hanya bercakap berduaan, “Ibumu adalah favorit. Ibumu adalah mbak favourite, adik favourite, mantu favourite… semua orang dalam keluarga besar kita selalu mem-favouritekan beliau”, seolah ayah mengiringi pesan agar mencontoh ibu bila ingin dicintai seisi keluarga.

O, ibu… Puji syukur pada Allah SWT, engkau ada di sisiku hingga mengantarkan diri ini menjadi seorang ibu pula. Ibu, bukan guru kelas 1 SD yang mengajariku Alphabet ABC pertama kalinya, melainkan engkau, bu… Bukan pula para ustadzah di masjid yang mengajariku alif, baa, taa, melainkan engkau bu… Di era 80-an, para tetanggaku banyak yang memiliki anak banyak, dan sejujurnya ada rasa salut pada semua ibu tetanggaku itu. Bayangkan, ada yang punya anak 20 orang, tapi sekarang anaknya semua jadi orang sukses! Ragam profesi sang anak, dokter, pengusaha, insinyur, bahkan menjadi gubernur, dll. Ibuku juga pernah berdiskusi pada kami anak-anaknya, di zaman ini sudah berbeda, sebagai contoh media massa, elektronik, kecanggihan teknologi yang memiliki sisi mudharat pula, bisa mengakibatkan hancurnya keluarga kecil yang ‘hanya punya anak dua’. Banyak contoh nyata di lingkungan sekitar kita. Sehingga ibu menyarankan untuk benar-benar mengoptimalkan peran sebagai orang tua yang telah diamanahi anak-anak olehNYA.

O, ibu… Keenam anakmu telah berjauhan, barulah sekarang saya mengerti kalimat kasih ibu sepanjang masa, kasih anak sepanjang galah, untuk menikmati masa bersama ibu, kami anakmu harus mengatur jadwal cuti dulu! Hiks, padahal dulu waktu kami kecil, ibu selalu ada di sisi kami ini. Ibuku multitalenta. Ibu yang membuat baju-baju kami sendiri, semua bajuku dan kakakku sedari bayi sampai usia kanak-kanak, ibulah yang menjahitnya. Bahkan saat kami sudah dewasa, terkadang dijahitkan baju pula olehnya. Kalau lem-ku untuk kerajinan tangan habis, ibu membuat lem sendiri dengan tepung. Lem memang sering habis karena sejak SD hingga SMU saya memiliki ribuan sahabat pena, lem dipergunakan untuk membuat kartu-kartu dan amplop.

Ibu bisa memasak semua jenis makanan, terutama pempek kapal selam kesukaan kami. Ibu rajin membuat kudapan, maklumlah anak-anaknya doyan makan. Tangan ibu bagiku adalah super hebat, lebih dari sekedar tangan superwoman yang di film kartun itu! Tangan beliau yang hanya dua, namun menguruskan isi perut anggota keluarga berdelapan, bekal-bekal kerja ayah dan bekal makan siang kami di sekolah, ibu yang menyiapkannya. Saat kakak-kakak sudah lebih besar, ibu ajarkan untuk membantu beliau mengoordinir para adik, subhanalloh ibuku pandai ‘ilmu management!’ Ibu yang mengajari kami membaca qur’an dengan tartil, menghafal juz amma sedari balita, dan kalau kami sudah khatam qur’an, ibu akan membuat nasi komplit dengan lauk yang enak serta dibagi-bagikan pula pada tetangga.

Kalau keadaan perekonomian kurang baik, maklumlah saat semua anak harus sekolah dan les tambahan sementara gaji ayah pas-pasan, dulu ibu turun tangan menjajakan kue-kue di beberapa kedai, menerima pesanan makanan, dan jahitan busana muslim, walhamdulillah hal ini sukses besar. Dan ayah sendiri yang meminta ibu untuk berhenti jualan setelah beberapa lama kemudian karena melihat betapa padatnya jadwal ibu dan tentulah khawatir keletihan. Ibuku pandai menyesuaikan diri dalam kondisi apapun.

Walaupun kami pernah bandel, misalnya saat saya dan kakak bersembunyi di bawah kolong tempat tidur karena tidak hafal suatu surat dalam Al-Qur’an dan takut ‘disabet rotan’, maka ternyata hingga sore ibu bukanlah marah… melainkan beliau menangis tersedu-sedu karena mengkhawatirkan kami, oh, ibu… padahal kami di kolong tempat tidur, sibuk makan biskuit tanpa memperdulikan kekhawatiranmu. Contoh lain saat kakakku berantem dan nilai sekolahnya merosot, ibu tetaplah dengan lemah-lembut memberikan nasehat. Sikap-sikap lembut ibu serta kesabarannya bagi kami adalah ‘ketegasan sejati’, ‘ilmu psikologi’ yang hadir dari cinta sejati seorang ibu!

Ibuku tak pernah sekali pun mengatakan, “masa’ sih kamu gak bisa…?”, walaupun secara fakta banyak hal yang saya tidak bisa, dalam arti tidak memiliki keahlian sehebat dirinya. Saya tidak bisa menjahit baju-baju buat cucumu, ibu… namun kata ibu, “yah, zaman sekarang kan baju-baju yang dijual tuh lucu-lucu, harganya juga murah meriah, gak apa-apa beli aja, nak…”, dengan ringannya kalimat itu menghiburku. Saya tidak lincah di dapur, kalau motong-motong —sering terkena pisau, kalau menggoreng— sering terpercik minyak, motong bawang—banjir air mata, mengupas sayur dan buah pun ‘acak-acakan’, selain itu memang ada rasa takut melihat beberapa benda di dapur, namun ibu menyemangati, “Semua bisa dipelajari… pelan-pelan aja, trus kan sekarang juga sudah ada alat pemotong bawang, alat-alat memasak sudah banyak yang modern, yang penting masaklah dengan bumbu cinta, pasti enak deh…”, dan memang kenyataannya apapun masakanku, laris manis dihabiskan oleh semua anggota keluarga, Alhamdulillah.

Ooh, ibu… saya paling ingat akan nasehatmu, bahwa seorang ibu memiliki posisi penting dalam kemajuan generasi. Ibu dan ayah adalah teman sejati yang bekerja sama menuju keridhoanNYA, ayah mengurus hal-hal di luar rumah, ibu mengatur hal-hal di dalam rumah, namun seringnya ada peristiwa-peristiwa yang juga mengharuskan ayah atau ibu saling membantu urusan keduanya. Salah besar jika ada orang yang mencemooh profesi full-time mom. Sosok tersebut memang harus selalu mondar-mandir dapur, sumur, kasur, namun pernahkah kalian terbayang bahwa ketiga tempat itu memang tempat paling nyaman dalam rumah tangga? Ibu harus menjaga halalan thoyyiban segala jenis makanan di dapur, nantinya akan dimakan oleh seluruh anggota keluarga. Salah satu efek jika dapur tidak terjaga kehalalannya, ingatlah Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah tumbuh daging dari makanan haram, kecuali neraka lebih utama untuknya.” (HR At Tirmidzi)

Ibulah yang mengatur keuangan keluarga, ternyata ibuku juga ‘akuntan’ yang baik. Kalau urusan sumur, alias cucian tidak beres, baju sekolah, baju kantor ayah, dll, pastilah tidak rapi. Penampilan ayah dan anak-anak yang rapi, bersih pakaian sedari topi atau kerudung hingga kaos kaki dan sepatu, semua jadi kinclong bersinar karenamu, ibu. Ruangan kamar mandi harus rajin disikat, disiram pembersih agar bakteri-bakteri kabur, betapa pentinganya ‘sumur’ mejaga kesehatan keluarga. Kadang-kadang kami malas membantu ibu, maafkan kami yah bu… Dan saat telah menjadi seorang ibu, betapa Saya merasakan ‘beratnya’ tugasmu, duhai Ibu…

Urusan kasur alias ruangan kamar yang jadi tempat ternyaman buat seisi keluarga melepas lelah pun diperhatikan dengan teliti oleh ibu. Ruang kamar harus selalu bersih, harum, rapi terutama dibereskan sebelum tidur dan saat bangun pagi. Dahulu seprai kasurku sering terkena coretan pena dan pensil, sebab saya hobi mengerjakan Pe-Er di kasur, sering tak sengaja menumpahkan minyak angin atau tinta pula, dan ibu dengan cekatan membersihkannya. Salut padamu, duhai ibu, sementara saya saat ini mengandalkan ‘jasa laundry’ kalau kesusahan mengurusi kain-kain kotor. Dan ibu berujar, “baguslah… kan kalau jaket dan jas memang lebih baik di-laundry, seprai dan selimutmu juga tebal-tebal, dananya juga ada, hitung-hitung khan bantuin tukang laundry juga dalam mencari rezeki…”, tak pernah habis kutulis tentang sosok beliau, sebab sosok ibuku adalah pengukir hidupku, sentuhan cintanya tak dapat kurangkum melalui kata-kata belaka.

Sembilan tahun lalu, sosok sholeh calon pendampingku berkata pada ibu, “bu… saya punya ibu yang berbeda denganmu. Ibuku harus berkarir karena keadaan menuntut hal itu, Saya tak pernah disusui, tak pernah diajari sholat, puasa, bahkan mengaji, Saya tidak merasakan hal yang sama seperti yang anak-anakmu rasakan. Maka saat ini ketika keadaan saya sudah memahami cahaya Islam dengan baik, saya mohon supaya ibu ridho jika istriku ini kelak tidaklah bekerja di kantor sesuai gelar sarjananya, karena saya hanya ingin anak-anakku kelak tidak bernasib sama sepertiku…”, air mata mereka mengalir bersama, tidaklah semua wanita berjiwa ‘IBU’, dan ibu mengangguk setuju serta meyakinkan calon menantunya bahwa selama kepemimpinan kepala keluarga adalah sejalan dengan aturan Allah SWT, maka sang istri harus menaatinya.

Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu ia berkata, “Kaum wanita datang menghadap Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bertanya, ‘Ya Rasulullah, kaum pria telah pergi dengan keutamaan dan jihad di jalan Allah. Adakah perbuatan bagi kami yang dapat menyamai ’amal para mujahidin di jalan Allah?’ Maka Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bersabda, ‘Barangsiapa di antara kalian berdiam diri di rumahnya maka sesungguhnya ia telah menyamai ’amal para mujahidin di jalan Allah’.” (HR. Al-Bazzar)

Oh, ibu… syukurku padaNYA atas keberadaan ibu disisiku, hingga hari ini masih terus mengajari banyak hal padaku, saat sosok lain runtuh, maka engkau tetap kokoh dan teguh. Saat yang lain berbual, maka engkau tetap memelihara kejujuran. Saat yang lain tergoda, maka engkau tetap setia. Saat yang lain penuh prahara, maka dengan kesabaran dan keikhlasan engkau perbaiki senyum mereka. Saat yang lain mengumbar pengorbanan dan jasa, engkau malah hanya diam dan mengukir senyum ikhlas. Selalu tercium aroma do’a malammu, selalu merindu nuraniku akan pelukan hangatmu, semoga Allah SWT memberikan kekuatan padaku untuk menjadi sosok ibu sejati sepertimu, amiin.

(Buat emakku tersayang,)

Selasa, 13 September 2011

8 Tips Menikmati Bercinta ala Kamasutra

Semua orang pastinya sudah mengenal atau mengetahui Kamasutra.Kamasutra terkenal sebagai seni bercinta yang sangat tinggi.Maka tak heran jika banyak orang memilih Kamasutra sebagai acuan untuk menikmati seks dengan penuh keseimbangan.Bukan sekedar memuaskan nafsu dalam bercinta tetapi juga menuangkan seni dalam bercinta. Diantara Tips-tips tersebut ialah :

1. Tekukan Teratai
Dalam Kamasutra posisi ini disebut posisi Indrani. Posisinya ialah dengan Wanita menekuk lutut sehingga paha dan betis berdempetan kemudian berbaring menyamping.Sementara sang Pria “menyerang” dari posisi yang paling mudah. Posisi ini memerlukan latihan karena gaya bercinta ini tidak biasa dan mempunyai seni dan tingkat kenikmatan yang tinggi.

2. Teratai Mekar
Posisi ini memiliki sensasi yang berbeda. Dapat dilakukan dengan cara Wanita tidur terlentang dan membuka kedua kaki selebar mungkin dan dengan merendahkan posisi kepala serta mengangkat bagian tengah tubuh.Kemudian Pria memeluk bagian tengah sehingga mempermudah dalam memasukkan Mr.P ke dalam.

3. Kuncup Teratai
Posisi ini hamper sama dengan posisi sebelumnya, hanya saja paha wanita di angkat dan melakukan penetrasi. Kemudian Pria bergerak kedepan dan belakang atau dapat juga melakukannya dengan gerakan zig-zag.

4. Teratai Mengunci
Kedua kaki baik kaki laki-laki maupun perempuan direntangkan lurus kearah pasangan masing-masing.Pada posisi miring, lelaki harus selalu berbaring sengan sisi kiri tubuhnya, sedangkan wanita berbaring miring pada sisi kanan.

5. Teratai Menekan
Apabila sudah dalam posisi mengunci, perempuan menekan Miss.V nya ke Mr.P dengan kedua pahanya. Gerakan menekan kedepan dan kebelakang pada penis ini akan menimbulkan seni bercinta yang luar biasa meski agak sulit tapi nikmatnya luar biasa.

6. Teratai Memeluk
Posisi ini sangat mudah dilakukan, yaiutu dengan cara salah satu paha wanita di tempatkan pada melintang paha pria.Dilakukan sembari duduk berhadapan dan kedua tangan saling berangkulan.Ciuman dan eratnya pelukan memperdalam keintiman pasangan.

7. Belahan Teratai
Posisi ini spiel sekali, yaitu dengan cara salah satu kaki perempuan di letakan di bahu pasangan,dan satunya lurus.Kmudian bergantian, kaki yang lurus diletakkan di bahu pasangan dan satunya lurus.

8. Teratai Gantung
Posisi ini memerlukan energi yang ekstra dan pengalaman.Posisi ini dilakukan dengan cara pria bersandar ke tembok dan kedua tangan wanita di lingkarkan pada leher pria sembari duduk di kedua tangan pria yang disatukan dan menyangga pantat wanita. Kedua paha wanita diletakkan dipinggang pria lalu menggerakkan dirinya dengan kakinya yang menyentuh tembok.

Sumber: http://id.shvoong.com/books/science-fiction/1872640-tips-menikmati-bercinta-ala-kamasutra/#ixzz1XrKSawxN

tips berhenti merokok

5 Alasan dan Faktor Pendorong untuk Berhenti Merokok:

1. Finansial
Tentunya ini adalah alasan/faktor pendorong yang sangat dan paling kuat. Secara hitungan sederhana saja, kalau dalam sehari menghabiskan rokok kretek favorit saya sebanyak 2 bungkus maka secara nominal nilainya sekitar Rp 10.000,00.
Kalau dikali jumlah hari dalam satu tahun maka nilainya menjadi Rp 3.650.000,00!
Jadi tinggal Anda bayangkan perasaan kita kalau membakar uang sebesar itu

2. Penampilan
Waktu masih jadi perokok, bisa dibilang penampilan saya tidak pernah bisa didefinisikan dengan jelas (maksudnya sih gak karuan alias berantakan).
Tapi sekarang setiap orang yang ketemu saya selalu berkomentar, “Wah, sekarang segeran ya kamu..”
Atau juga kadang-kadang ada tambahan komentar sebagai berikut, “Gemukan lagi…”

3. Kesehatan
Kalau ini sih sangat amat jelas sekali
Sejak saya berhenti merokok, badan saya jadi lebih enteng dan terutama aroma napas dan badan saya lumayan menurun sensasi tidak sedapnya.

4. Tren dan Gaya Hidup
Kebetulan sekarang yang lagi tren adalah tidak merokok. Selain itu sekarang di banyak tempat umum sudah mulai dilarang merokok kecuali di area-area tertentu yang sudah ditetapkan.

5. Omelan Isteri
Sejak masih pacaran sampai menikah, isteri saya (dulu sih masih calon isteri) sangat tidak suka asap rokok. Bahkan ayah mertua saya sampai harus mengasingkan diri di halaman belakang rumahnya karena protes puteri tercintanya itu kalau mau merokok.
Karena omelan yang panjang lebar dan tiada lelah berhenti itu, saya akhirnya termotivasi untuk segera berhenti merokok.



5 Kiat Berhenti Merokok:

1. Kurangi Jumlah Batang Rokok yang Dihisap per Hari
Proses untuk berhenti merokok tidak serta merta saya lakukan. Bagaimanapun juga tubuh saya yang sudah terkondisikan oleh nikotin dan tar tentunya akan melakukan aksi protes yang spartan jika mendadak suplai racun tersebut terhenti tiba-tiba.
Karena itu saya mengurangi dengan bertahap. Saya pasang target untuk mulai mengurangi jumlah batang rokok dari jumlah 36 batang per hari.
Jadi perlu waktu sampai hampir dua bulan untuk berhenti menghisap rokok kretek kesayangan saya itu.

2. Kurangi Kadar Nikotin per Batang Rokok yang Dihisap per Hari
Setelah berhasil mengurangi batang rokok kretek yang saya hisap per hari, saya berpindah menghisap rokok dengan kadar tar dan nikotin yang rendah.
Prinsip yang dipakai masih seperti di atas. Jadi dalam waktu sekitar 5 bulan saya sudah bisa total berhenti merokok.

3. Giat Olah Raga
Untuk menyeimbangkan metabolisme tubuh saya yang sudah pasti berubah itu, saya rajin olah raga. Setiap hari saya jogging sekitar 30 menit di sekitar lingkungan rumah. Kadang-kadang kalau lagi semangat pergi ke gym dekat rumah untuk latihan beban.
Lumayan, siapa tahu bisa punya badan seperti Ade Rai atau Brad Pitt

4. Kurangi Tidur Larut Malam
Karena sudah terbiasa kerja gila-gilaan dikejar waktu tenggat penyelesaian proyek dari klien atau kantor, saya jadi sering tidur larut malam bahkan sampai subuh. Kadang-kadang untuk mengusir rasa dingin, kantuk dan rasa bosan saya akhirnya jadi merokok (tentu saja ditemani segelas kopi panas).
Akhirnya saya menetapkan untuk disiplin waktu. Sekalipun kerja di rumah, saya hanya bekerja dari jam 9 pagi sampai jam 5 sore. Kalau harus lembur karena dikejar deadline, biasanya tidak pernah lebih dari jam 10 malam.
Atau karena sedang panas-panasnya coding aplikasi software atau penasaran sama bug yang nggak ketemu-ketemu asalnya, saya tetap memaksakan diri untuk mematikan komputer tepat jam 10 malam.
Jadi saya tetap bisa tidur jam 11 malam dan bangun jam 5 pagi (sekalipun biasanya habis sholat subuh sering tidur lagi sampai jam 7

5. Mintalah Istri untuk Sering Ngomel

Kiat ini sangat ampuh buat saya. Calon isteri (sekarang sih udah jadi isteri) saya itu sangat rajin mengomeli saya kalau sudah merokok atau kerja di luar jam yang disebut tadi. Jika beliau sudah mulai bosan ngomel, biasanya saya bertanya, “Hon, kok tumben nggak ngomel?”
Maka dengan serta merta meluncurlah dengan deras tiada henti-hentinya segala petuah nan bijaksana kepada saya dari isteri saya tersebut.

Semoga saja Anda yang belum dan sudah niat untuk berhenti merokok dapat terinspirasi oleh tulisan saya tersebut

Mengenai Saya

Foto saya
Aku adalah aku, yang berdiri di padang gersang penuh ilalang.. tempat angin membawakan suara merdu gadis jelita dan suara seruling pemuda sederhana... Junior jelek..!!!!